I Must Ask Dreamland



Senin, 16 Desember 2013
Assalamualaikum

          Nocturnal *mode on*. Malam ini aku lagi berkutat sama soal UAS biologi. Soal ini bisa jadi adalah remidi yang terselubung. Kebetulan aku nggak sendirian mengerjakannya, tapi satu angkatan kompak. Entahlah, mungkin saja aku dan teman-teman yang tidak menguasai atau kekurang efektifan penyampaian materi. Yang jelas aku sampai harus mendelik-mendelik nahan kantuk.
          Rapor dan minat menjadi penentu nantinya aku akan dimasukkan ke jurusan IPS/IPA di kelas XI (fyi, my school haven’t used 2013 curicullum). Tapi aku nggak mau dimasukkan-tentu saja- aku mau diriku yang memilih, membuat pilihan dan mengikuti pilihanku. Hanya saja, saat ini aku masih gundah di antara pilihan-pilihan yang ada (padahal Cuma 2 pilihan).
          Well, tentu saja aku punya mimpi. Setiap orang pasti punya, kan? Dan-oh tidak-apakah guru-guru di sekolahmu juga berpikiran kalau mimpi selalu dikaitkan dengan profesi? Kalau kamu ingin jadi dokter kamu masuk IPA. Kalau kamu pingin jadi Wirausahawan kamu masuk IPS. Kamu harus memilih salah satu. Kenapa sesuatu yang bernama mimpi yang diibaratkan dengan langit harus dibatasi dengan sesuatu yang disebut profesi? apakah kalau suatu hari aku tidak bercita-cita menjadi dokter, astronout, arsitek, insinyur, pilot, dan sejenisnya; aku dianggap tidak memiliki impian? Untuk alasan ‘memotivasi’ agar di masa depan mendapat pekerjaan yang diinginkan (read: mimpi).
          Kalau begitu, banyak orang yang bermimpi, tetapi dianggap tidak punya mimpi ketika ia tidak berhasil mendapat profesi yang diidamkan, tidak berhasil medapat peringkat yang diinginkan, tidak berhasil mendapat kedudukan di masyarakat tanpa peduli pada apa yang melandasi tujuan hidupnya.
          Mimpi itu nggak dangkal sekedar profesi. Namanya juga mimpi, abstrak; irasional; tinggi; indah; semua warna-warni kata yang menggambarkan imajinasi.
           Kelihatannya mustahil tapi selalu ada hasil, gagal itu rasional.
          Kalau suatu hari aku ingin jadi volunteer yang menolong orang-orang yang kesulitan tanpa gaji; apa itu salah? Apa itu nggak layak disebut mimpi? Kalau aku sudah bahagia dengan pencapainku, dan aku menganggap berhasil menaklukan impianku maka disitulah aku telah berhasil meraih impianku. Segala sesuatu bermuara kepada apa yang kita pikirkan; bukan apa yang oranglain pikirkan tentang kita.
          Beberapa waktu lalu, Guru BK memberi tugas untuk mencari tokoh idola untuk motivasi meraih cita-cita. Langsung saja aku bersemangat memikirkan banyak nama yang akan kuambil salah satu (Nabi Muhammad SAW, Ali bin Abi Thalib, Muhammad Al-Fatih, Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Albert Einsten, Alfa Edison, dll). Tapi persyaratan kedua mengatakan kalau tokoh yang dipilih harus berhubungan dengan cita-cita. Sesaat aku bingung. Cita-cita? Dari berbagai pertanyaan, aku mengerti bahwa yang dimaksud cita-cita adalah profesi di masa depan.
          Dari situ, aku membutuhkan waktu yang lama untuk mendebat pikiranku. Menurutku, seorang tokoh yang aku idolakan adalah tokoh yang dapat kujadikan teladan/panutan. Karena di masa depan ESQ lebih dibutuhkan daripada IQ. Dan menurutku lagi, aku tidak akan puas jika menjadi orang yang berhasil dari segi materi dan intelegent saja. Bukankah kelak semua akan dipertanggung jawabkan dihadapan Sang Pencipta tanpa pandang bulu?
Ah entahlah. Semakin hari aku semakin bingung dengan dunia. Tapi aku harap aku dapat mencapai apa yang dinamakan mimpi itu.
Buka mata, hati, telinga.
Wasssalamualaikum,
Lisa.

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible

0 comments:

Posting Komentar

Drop your coment here! :)