Aku pikir, menulis adalah cara
mewaraskan pikir. Oleh karena itu, coba ya, aku sedang berlatih mendefinisikan
perasaanku agar aku bisa berpikir.
Aku punya seorang teman yang, well, mungkin sudah pada fase selesai
dengan dirinya, tidak mudah overthinking, dan mampu merumuskan solusi sesaat
setelah paham problematika yang dihadapinya. Tidak seperti aku yang barangkali
masih perlu proses untuk menuju kesana. Eh, tapi nggak apa-apa, kan? Setiap
orang punya prosesnya masing-masing.
Darimana aku mulai, ya?
Barangkali dari pertanyaan, bagaimana perasaanku sekarang? Well, aku
merasa sedang dipermainkan, terjebak lebih tepatnya, oleh ilusi yang kubuat
sendiri. Mungkin aku lebih nyaman menceritakannya dalam bentuk cerita fiksi.
Dari awal sebenarnya aku sudah membangun tembok, tinggi, lengkap beserta menara penjaganya agar tidak mudah ditembus siapapun. Hingga akhirnya tersiar kabar, ada tamu dari negeri seberang yang mengirim surat untuk bertandang. Ia baru saja menempuh perjalanan jauh dari berburu. Aku mengenalnya dengan baik, kupikir aku bisa mempersilahkannya masuk untuk mengistirahaktkan kudanya agar mampu melanjutkan perjalanan. Namun tetap saja, aku tidak bisa membukakan gerbang utama, gerbang itu hanya untuk tamu istimewa saja. Akhirnya, aku hanya menguluran tangga untuk dipanjati, sampai ia bisa mencapai pintu masuk menara samping dan membawa kudanya masuk.
Beberapa hari berselang. Perbekalannya telah cukup untuk mebawanya kembali menuju kampung halaman. Namun, ia berkata ada maksud lain selain kedatangannya memohon bantuan. Katanya, ia sudah sejak lama ingin bertemu denganku, ingin tahu seperti apa wujud istana yang didiami hanya oleh seorang puteri yang kedua orang tuanya telah tiada.
Source: here Aku menaruh simpati. Kupersilahkan ia masuk ke istanaku lebih dalam. Padahal tadinya, kututup rapat-rapat semua pintu dan jendela, hanya aku dan diriku yang boleh masuk. Sampai pada saat aku mempersilahkannya menuju aula untuk makan malam, aku mendengar derap langkah puluhan kuda mendekat. Aku menengok keluar. Pasukanku telah tumbang disana sini. Gerbang utamaku berhasil diduduki kurang lebih dua lusin pasukan berkuda. Aku kalut, kupandangi ia yang berdiri di belakangku.
Tak disangka-sangka, ia tersenyum. Menyambut pemimpin rombongan itu sambil menjabat tangannya. “Jangan lukai tuan puteri!” perintahnya berlagak satria sambil mengambil kudanya, kemudian meninggalkan gerbang utama bersama derap langkah lusinan kuda yang kian menjauh.
Belakangan aku baru tahu, ternyata ia tidak sedang berburu. Ia baru saja lolos dari perang di perbatasan wilayah. Hanya ia yang selamat. Setelah menghitung jarak dan kemunginan peristirahatan, ia menemukan istana ini dan bermaksud tinggal beberapa saat sampai pasukan sekutu datang menjemputnya, lalu pergi begitu saja.
Lalu pergi begitu saja. Tidak peduli ada separuh prajurit terenggut jiwanya. Tidak peduli atas harga ebuah perbekalan yang barangkali membuat hati melunak untuk sekedar berterima kasih. Dan yang paling parah, tidak peduli atas sebuah ruang kosong yang sempat ditinggalkannya. Sempat dianggap berharga karena kepergiannya sampai menyisa bekas.
Ternyata istanaku – hanya sebuah tempat pelarian.
Huft. Begitulah, setidaknya itu yang terpikirkan. Dari ceritanya
saja, kamu pasti sudah paham kalau aku orangnya suka berkhayal dan memikirkan
hal-hal tidak penting, bukan? Kamu pasti mau bilang kalau wajar saja aku
terjebak dalam ilusi yang kuciptakan sendiri, bukan? Tidak apa-apa memang
begitu adanya.
Tetapi setidaknya, aku jadi lebih
lega, karena aku mulai memahami perasaanku sendiri – tanpa perlu meminta
siapapun untuk memahaminya. Termasuk kamu.
---
Ps : aku pikir kita sudah sama-sama dewasa untuk tidak bermain-main dengan perasaan. Saya termasuk orang yang -terkadang- sama diri sendiri aja sulit untuk bisa jujur. Oleh karenanya, saya sangat menghargai setiap kejujuran yang orang lain lakukan, sekecil apapun bentuknya.
ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible