16.21. Hujan seperti biasa.
Tapi yang menjadi rekorku selama dua belas bulan belakangan, yaitu dalam sehari aku sudah menangis tiga kali. Sudah seperti resep dokter untuk obat generik yang dijejalkan pada tubuh. Tentu saja, aku tidak sedang mengumumkannya dalam kondisi bangga karena telah berhasil memecahkan rekor-sok-tahan-bantingku-ini (eh, memangnya tidak nangis dan tahan banting berkorelasi positif, ya?).
Satu. Aku tidak tahu lagi bagaimana cara merespon duka orang-orang disekitarku secara wajar. Tapi yang jelas, mudah sekali diri roh orang-orang itu menyusup ke jiwa ini, menjadikan aku teraliri komposisi deritanya. Seperti tadi pagi ketika nenekku membagi keresahannya. Kejadian pagi ini sama persis seperti bertahun-tahun silam ketika almarhum Kakungku tersayang masih dapat diajak berdiskusi dalam urusan sesulit ini. Bedanya, saat beliau sudah dipanggil-Nya duluan, aku tidak bisa sok-sokan tegar. Dan sudah bisa ditebak ujungnya, telingaku awas , tapi mataku basah.
Dua. Aku melongok ke bak mandi yang sudah lama tidak dikuras. Tentu saja sebagai anak paling muda yang badannya cukup ringan untuk masuk menggosok lantai bak mandi, akulah yang paling bertanggung jawab atas kebersihan rumah. Jadilah ketidakbersihan bak mandi adalah suatu kegagalan atas pengabaianku beberapa bulan belakangan. Sebetulnya, itu tidak penting. Alasan mengapa aku menceritakan hal ini adalah aku tiba-tiba teringat almarhum kakek. Beliau biasanya yang sangat bersemangat membersihkan tiap inchi rumah tanpa diminta dan tanpa sedikitpun merasa kelelahan. Aku merasa bersalah. Air mataku jatuh lagi bersama air yang menetes pada kran yang belum diperbaiki.
Tiga. Sudah pasti aku terlambat. Dua kejadian pagi tadi membuatku sulit berkonsentrasi memasukkan berderet-deret kata yang berpeluang akan ditanyakan dalam ujian. Saat kuyakinkan diri bahwa aku harus menghadapi semuanya dengan berlekas berangkat, jam dinding telah melesat tajam. Aku pasrah. Benar saja, beliau adalah satu-satunya dosen yang menunggui ujian selama satu minggu belakangan. Aku diatgih kartu keterlambatan yang belum kuurus.
Kata beliau, aku tidak boleh masuk sebelum kartu pink itu ada digenggamannya. Jadilah aku berlari seperti orang kesurupan menuju tempat dimana bisa kudapatkan kartu serupa karcis itu. Ternyata, aku harus berhadapan dengan kepala prodi yang akhir-akhir ini begitu banyak membantu kami dalam penelitian. Aku menyesal tidak membalas kebaikannya dengan membuatnya mengenali si gadis tidak tidak taat aturan pada minggu terkahir UAS. Pikiranku kalut mengisi alasan keterlambatan. Tentu saja, aku tidak menulisan apa yang sebenarnya terjadi. Beliau tidak menanyaiku macam-macam, malah ber-postif thinking dan mengatakan aku harus segera masuk kelas. Setelah mengucap bertubi-tubi terima kasih serta pesan beliau untuk tidak-berlari-sampai-kelas, air mataku tumpah setelah keluar dari ruangan. Bukan. Bukan karena keteledoranku, bukan pula karena predikat buruk yang tersemat di balik namaku. Tapi, tidak bisakah aku menemukan sosok semenyenangkan ini sekali lagi dalam hidupku? Dalam wujud Ayah misalnya.
Hehe. Drama sekali aku hari ini. Eh, malam nanti aku akan menonton Rembulan Tenggelam di Wajahmu. Pungkasan yang amat cocok untuk mengakhiri sinetron hari ini, bukan?
ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 comments:
Posting Komentar
Drop your coment here! :)