"Jadi, bagaimana bisa kau secepat itu menyimpulkan?"
"Aku punya dua alasan."
"Oh, ya? Apa itu?"
Ia mengetuk-ngetuk meja. Satu. Dua. Tiga. Sampai hitungan ketiga ia menjawab,
"Satu. Kamu memang baru mengenalku, tapi aku tidak."
Ia seperti baru saja memencet tombol freeze menggunakan jemarinya yang bebas. Suasana disekitar membeku. Aku tak kalah beku.
"Bagaimana bisa? Kau kan baru saja pulang dari Amsterdam,"
"Aku memang baru saja pulang dari Belanda, tetapi belakangan, manusia selalu punya dua dunia bukan?"
Sinting! Aku semakin tak mengerti arah pembicaraannya.
Ia menangkap raut heranku, "Begini Ana, kamu tahu kan kalau kita bisa terhubung dengan orang-orang tanpa harus menatap matanya? Tanpa perlu menjabat tangannya?"
Aku mengangguk, mulai meraba arah pembicaraan.
"Kamu tahu Ana? Tulisan-tulisan yang kau terima di kotak masuk surelmu itu berasal darimana?"
Seketika es yang berada dalam tubuhku mencair. Bagai tersetum listrik, bola mataku melebar. Spontan aku menutup kedua mulutkku.
"Oh, ini mustahil!"
"Banyak kemustahilan-kemustahilan di dunia ini, Ana. Misalnya saja, pemilik kedai kopi ini, kamu pasti tidak menyangka bahwa seluruh karyawan disini adalah seorang mantan narapidana, bukan? Orang-orang yang menyimpan catatan kelam dalam hidupnya. But, here you are. Kamu menenggak matcha latte buatan mereka senikmat buatan barista di cafe favoritmu, benar? Begitu pula dengan takdir. Rasanya mustahil, tapi kamu tidak punya pilihan lain selain menerima."
Aku tergugu. Sudah tak mampu berkata-kata. Hampir dua puluh tujuh purnama aku berusaha menebak, meraba, membayangkan darimana asalnya surat-surat aneh itu dan kini–
Aku tergugu. Sudah tak mampu berkata-kata. Hampir dua puluh tujuh purnama aku berusaha menebak, meraba, membayangkan darimana asalnya surat-surat aneh itu dan kini–
"Lantas yang kedua?"
"Aku benci mengatakannya, tapi aku tidak bisa menemukan alasan yang lebih rasional, selain karena aku membutuhkanmu."
Berani sekali! Memangnya dia siapa?
"Boleh gantian aku yang bicara?"
Tentu saja. Ia menatapku, meluruskan duduknya. Lantas menyesap ekspresso dengan uap mengepul dari cangkirnya.
"Satu. Aku sangat berterima kasih. Berkat tulisanmu, aku tahu kepada siapa membagi dunia yang tadinya hanya kumiliki seorang diri."
"Yup. You're wellcome."
"Dua. Aku tidak tahu atas dasar apa kamu bisa seyakin itu. Dengar,"
Ia meletakkan ujung cangkir di atas meja, sampai cangkir itu berdenting menyentuh tatakan. Aku melanjutkan bicara,
"Kamu tahu kan, kalau secangkir matcha latte yang kuhabiskan barusan punya latte art yang cantik?"
"Iya."
"Kamu juga tahu aku menenggaknya karena aku terlanjur kau pesankan tanpa ditanya terlebih dahulu?"
Ia meletakkan kedua tangannya diatas meja, menopang dagunya. Bersiap dapat giliran jadi pendengar sepanjang pembicaraan.
"Jika saja diberi kesempatan memilih, aku pasti akan memesan air putih. Aku memang sangat menyukai matcha, tapi tidak untuk saat ini, karena tubuhku tidak butuh. Aku lebih memerlukan air putih untuk menetralkan gula darahku agar semakin mendekati normal. Ibuku sudah melakukan diet untuk dirinya sendiri, sekarang tinggal aku yang harus berkomitmen jaga diri. Begitulah kita dalam menempatkan pilihan. Kita harus tahu, apakah kita benar-benar butuh, atau hanya sekedar ingin."
"Kau butuh lebih dari sekedar latte art untuk membuatmu merasa benar-benar butuh."
Aku merapikan buku dan barang-barangku di atas meja.
"Lalu, kenapa dihabiskan?" Ia tersenyum, tak merasa tersinggung sedikitpun pada ucapan yang sudah kuanalogikan seketus mungkin.
"Karena aku tidak punya pilihan."
Aku berdiri. Ia tetap pada tempatnya. Kali ini tersenyum,
"Kamu sebenarnya selalu punya pilihan. Kita akan bertemu lagi, bukan?"
"Barangkali." Aku tersenyum tipis sambil lalu, "Terima kasih."
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 comments:
Posting Komentar
Drop your coment here! :)