Mendung sedari tadi membingkai langit,
menandakan rintik air akan turun ke bumi sebentar lagi. Dan sejurus kemudian air
langit datang dengan irama lambat. Ricik demi ricik pada mulanya,
deras mendentum tanah kemudian.
“Ini semua salahmu,” Quera menatap
sebal pada Rahul, “seandainya kau tak merusakkan sepedaku, sekarang aku pasti sudah
tiba di rumah menikmati hujan dengan secangkir susu hangat buatan bunda,” Quera pasang wajah sok jutek, terpaku pada tirai air yang menjuntai dari langit hingga tanah melalui balkon lantai dua gedung sekolah.
“Aku sudah minta maaf bukan? Kau
seharusnya berterima kasih padaku, aku mau repot-repot menemanimu melakukan sesuatu yang sangat
konyol seperti ini dan kau malah menatap hujan dengan wajah berbinar-binar, hal yang tak lazim dilakukan gadis berusia 16 tahun,” Rahul tersenyum penuh kemenangan diakhir ucapannya.
Padahal ia tahu, gadis berlesung pipit disampingnya sangat mengagumi hujan. Kerap ia mendapati Quera sedang menatap rintik hujan dengan wajah takjub, seperti anak kecil yang bangga mainannya bisa bergerak. Suatu hal yang diam-diam membuat Rahul rindu hujan turun, agar dapat melihat binar itu, binar dari sepasang manik budar Quera yang menjelma menjadi candu baginya.
Padahal ia tahu, gadis berlesung pipit disampingnya sangat mengagumi hujan. Kerap ia mendapati Quera sedang menatap rintik hujan dengan wajah takjub, seperti anak kecil yang bangga mainannya bisa bergerak. Suatu hal yang diam-diam membuat Rahul rindu hujan turun, agar dapat melihat binar itu, binar dari sepasang manik budar Quera yang menjelma menjadi candu baginya.
“Hei, seorang seperti kau berbicara
mengenai usia? Coba ngaca dulu, mana ada cowok umur 16 tahun yang begitu
tergila-gila pada power ranger?” skak mat bagi Rahul. Ia diam saja menunggu omelan berikutnya dari Quera. Dan benar saja.
“Kalau kau tidak mengerti apa makna hujan bagiku lebih baik kau diam saja, jika tidak mau kujatuhkan dari balkon ini”. Quera cemberut, percikan air yang sedari menciptrati ujung balkon membuat basah lantai sekitar. Sepertinya berdiri memangu hujan dan terkena percikannya belum cukup membuat Quera puas merasakan rintik air yang memantul ke wajahnya.
“Kalau kau tidak mengerti apa makna hujan bagiku lebih baik kau diam saja, jika tidak mau kujatuhkan dari balkon ini”. Quera cemberut, percikan air yang sedari menciptrati ujung balkon membuat basah lantai sekitar. Sepertinya berdiri memangu hujan dan terkena percikannya belum cukup membuat Quera puas merasakan rintik air yang memantul ke wajahnya.
Gadis itu menjulurkan tangannya
melewati balkon, merasakan tiap tetesan air hujan yang meresap ke kulit,
menimbulkan sensasi dingin yang digantikan kesejukan serta esensi berbeda bagi dirinya.
“Kau pikir hujan selalu indah-indah
saja? Apa kau lupa ada petir, halilintar, dan kiat yang kadang membuatmu
memejamkan mata sambil merapal doa agar diselamatkan darinya?” tanya Rahul seakan belum jera mendengar ceramah Quera barusan tentang kegemarannya.
“Terkadang, apabila kau sudah menyukai
sesuatu, kau harus terima segala konsekuensinya, bukan? Segala hal itu seperti
dua sisi mata uang, ada baiknya pasti tak luput dari kekurangan. Kau tak bisa menikmatinya dari satu sisi saja. Hujan memang
syahdu dan menyejukkan, tapi apa esensinya hujan jika tidak ada sensasi kilat, petir,
halilintar, bahkan dingin yang kadang membuat ngilu tulang? Dan aku hanya menikmatinya,
begitulah caraku mencintai hujan.” Gadis itu tersenyum sambil memejamkan mata,
syal kuningnya melambai dipermainkan angin, tetapi tak nampak
kedinginan.
Rahul menatap Quera lamat-lamat.
Begitu sederhana jalan pikirnya. Tanpa disadari, laki-laki itu tersenyum
menatap gadis disampingnya, hanya sekelebat saja sebelum akhirnya Quera membuka mata.
“Apa?” Quera menatap Rahul dengan
ekspresi bingung.
“Lucu.”
“Hah, siapa?” Quera mengangkat alis.
“Kau itu. Kau tetap saja konyol.” Rahul
tergelak menutupi rasa canggung yang tercipta beberapa detik lalu. Diluar
perkiraan, kali ini Quera ikut tertawa.
Malas membalas dengan kata-kata, ia
mencipratkan air yang tertampung di kedua telapak tangannya yang masih menjulur. “Pyur” serangan dari Quera tepat membasahi wajah Rahul. “Buah,” hanya itu kata-kata pertama yang Rahul ucapkan setelah percikan air membasahi wajahnya. Ia hampir
tersedak karena menelan air hujan.
“Tunggu pembalasanku!” Rahul tertawa
lepas, mengejar Quera yang berlari menyusuri lorong-lorong. Menikmati setiap
momen yang sebentar lagi akan berakhir mengingat awan cumulus nimbus akan
digantikan dengan awan altocmulus. Dan pelangi disudut sana menjadi saksi
tentang tawa yang sedang dihambur-hamburkan, tentang si pengagum rahasia dan
pecinta hujan.
Merindu langit mendung,
Yogyakarta,
26 April 1014
ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 comments:
Posting Komentar
Drop your coment here! :)