Bahkan Senja Bicara




Sepertinya aku salah menilai lagi. Padahal sudah jelas kan, alasanmu tiba-tiba diam dan menarik jarak dariku belakangan ini bukan karena ingin menghindar, tapi karena suatu hal yang sulit untuk dipahami dan dijabarkan, menyangkut kondisi mood seseorang, yah kamu sendiri yang bilang; sedang tidak dalam kondisi mood yang baik. Aku pura-pura mengerti meski tak sepenuhnya paham. Dan diantara seribu kekesalanku karena belakangan kau tak menjawab pertanyaanku, aku menarik napas lega; ternyata kau tidak berubah.
 
“Kenapa diam?” pertanyaanmu membuyarkan lamunanku pada arakan awan yang menggantung indah di langit, mengembalikan pikiranku yang sedang berkelana melalang buana entah kemana.

“Eh, tidak, aku hanya sedang mengamati awan” aku tidak sepenuhnya berbohong.

“Serius? Kau tahu, seorang gadis kecil yang menangis keras-keras meminta penjual es krim keliling menghentikan gerobaknya sama sekali tidak pandai dalam menutupi perasaannya” kau menatapku lekat-lekat dengan tatapan menyelidik, seakan di wajahku terdapat sederet tulisan asing yang dapat dengan mudah kau terjemahkan. Dan akhir kalimatmu tentu saja membuatku tersenyum. Kau masih mengingatnya.

“Hey, aku tidak memintamu berlari dan menghentikan gerobak itu, apalagi sambil bergelantungan diatasnya seperti kernet bis yang ingin menarik perhatian penumpang” malas untuk menanggapi pertanyaanmu, aku memilih mengomentari kalimat terakhirmu. Kau tertawa kecil. Syukurlah, kebekuan diantara kita sudah mulai terkikis. Dan tawa itu, seperti sudah bertahun-tahun ketika terakhir aku mendengarnya.

“Dan jika aku tidak melakukan itu, apakah kau akan terus menangis sampai kaca di rumahku pecah? Ayolah, tak usah memutar balikkan topik, kau belum menyatakan alasanmu.”


Itu tidak adil sama sekali. Seharusnya aku yang meminta penjelasan darimu, mengapa tiba-tiba moodmu berubah, mengapa tiba-tiba kau mengajakku ke belakang bukit tempat kita bermain saat masih kanak-kanak seperti sore ini, dan mengapa lain yang terus meminta jawaban darimu. Tapi ada sesuatu yang membuatku enggan bertanya. Sesuatu yang menghapus semua tanya itu ketika menatap ke dalam sorot matamu, aku tahu ego laki-laki memang sulit didefinisikan. Akhirnya, aku mengalah.

“Aku hanya sedang berpikir, ketika aku mengambil beasiswa studi ke mancanegara nanti, apakah, umm kau masih akan mengingatku, yah maksudku, apakah ada jaminan kau tidak akan melupakanku?”

Aku dapat menangkap air mukamu berubah seketika. Kau memalingkan wajah. Sepi. Aku tak menyangka pertanyaanku malah membuatmu kaget. Mungkin merasa tidak nyaman, yah siapa sih aku, memintamu untuk mengingatku, bukankah aku hanya teman masa kecilmu yang sudah hampir 2 tahun pindah keluar kota tanpa persetujuanmu lebih dulu, meninggalkanmu yang tetap setia memadangi senja di bukit ini. 

Meski sering bertukar kabar lewat teknologi yang semakin mempersingkat jarak, apakah ada menjadi jaminan bahwa laki-laki kecil berambut batok kelapa yang menghiburku saat aku menangis keras-keras dan menenangkanku tidak akan berubah? Bodohnya, sekarang aku kembali sejenak hanya untuk mengucapkan salam perpisahan yang lebih lama? Tuhan, aku adalah sahabat yang buruk.

“Pergilah” hanya itu yang kau ucapkan. Masih memalingkan wajah. Enggan bertatapan langsung. Dan seperti disambar geledek, perkataanmu membuat hati ini tersayat. Yah, mungkin benar, kau memang sudah tak membutuhkanku. Untuk apa memeperjuangkan orang yang tak selalu ada untukmu.

Aku berdiri. Ingin secepatnya pergi dari sini, menatap langit yang mulai kabur, menahan butir bening ini agar tidak tumpah.

Tiba-tiba kau mencengkeram lenganku.
“Dari dulu, aku tidak pernah melupakanmu, lebih tepatnya tidak bisa. Kau sudah lama mengisi benak ini dengan segala ingatan tentangmu. Berjanjilah padaku, kau akan kembali lagi kesini. Egoismeku ingin menahanmu agar tidak pergi, tapi akan lebih egois lagi apabila membiarkan impian yang kau cita-citakan sejak kecil kandas hanya karena aku mengabiskan waktu bersamamu. Sebuah pemikiran anak kecil yang tak kunjung lepas dariku. Itulah yang membuatku menjaga jarak darimu belakangan ini, agar aku bisa melupakanmu dan membiarkanmu pergi dengan tenang” kau berhenti sejenak mengambil napas.

“Tapi ternyata aku tidak bisa” suaramu berubah menjadi serak di kalimat terakhirmu. Aku terlonjak. Ternyata selama ini, aku salah mengira. Tuhan, sahabatku memang tak pernah berubah.

Aku membalikkan badan. Mendapatimu dengan matamu yang begitu sendu.

“Kali ini aku akan pergi lebih lama, mungkin lebih dari 2 tahun. Dan itu bukanlah waktu yang singkat. Sampai saat itu, maukah kau menungguku?”

Kau mendongak, lalu tersenyum simpul.

“Pasti. Kau dapat mempercayaiku, Anira. Tak masalah jika itu berarti ratusan hari tanpa kehadiranmu. Bukankah selama ini aku sudah banyak berlatih?”

Aku tersenyum. Dan air mata ini bukanlah air mata penyesalan, tapi kelegaan dan buncah yang amat sangat. Kita menatap langit yang memancarkan semburat jingga khas senja, sama seperti 2 tahun yang lalu, kau dan langit senja sama-sama tidak pernah berubah.

Untuk ratusan pergantian senja kedepan, kita tidak dapat melihatnya bersama. Tapi aku yakin, akan ada suatu hari dimana kita mengalahkan keegoisan dan bertemu kembali, memenangkan angan yang kita ciptakan berdua. Hanya kau dan aku. Tapi nanti.

Yogyakarta, 1 Juni 2014
Erliza Cikal Arthalina

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible

0 comments:

Posting Komentar

Drop your coment here! :)