Tertawa atau Tersedu Kupikir Sama Saja





Terkadang terlalu banyak tertawa bukan berarti partikel bahagia mengomposisi tiap tawa yang terdengar. Apalagi tertawa sampai berkaca-kaca. Bisa berarti dua hal. Ada air mata yang dipoles sedemikian rupa atau sedang menertawai diri sendiri. Jangan ditelan bulat-bulat. Setiap orang punya topeng terbaiknya, bukan?

Akhir-akhir ini, cabang-cabang saraf bekerja sangat keras. Membuat kepala mulai berasap. Kalau kata orang amanah itu berat, menurutku, amanah itu BENAR-BENAR berat. Tidak sembarang mengemban tapi juga harus dipikir, dijalankan, karena semuanya akan dipertanggungjawabkan selama atau sesudah hidup. Dan banyak faktor yang membuat kepalaku merontokkan mahkotanya tiap sedang sisiran. Tapi bukan itu poinnya.

Aku baru saja menginjakkan kaki di rumah ketika iqamah isya berkumandang, pikiranku melayang pada peristiwa hari ini. Dimulai dari rasa curiga terhadap seorang teman yang sudah berhari-hari absen dan mengatakan bahwa alasan sakitnya hanya soal sepele, tidak mau berterus terang. Kalau hanya soal sepele, kenapa selama itu ia mengistirahatkan tubuhnya di rumah? Ia bukan tipe yang senang menyia-nyiakan waktu. Pasti terjadi sesuatu.


Tapi sepandai-pandainya seseorang mengenakan topeng, bentuk rupanya pasti ketahuan.


Firasatku benar. Aku berhasil mengetahui alasan sebenarnya dari menanyai teman lain. Tak sesepele perkataannya, ia harus berbaring dalam ruangan yang dipenuhi bau obat-obatan, tapi aku salut, ia pandai menampilkan topeng terbaiknya. Beberapa menit kemudian aku suah berada dalam ruangan yang dihiasi bau antibiotik dimana-mana. Aku melihatnya, ia tersenyum. Tubuh yang biasanya bisa berlari sangat kencang ketika berusaha menghindar dari pukulanku, kini terlihat tak berdaya di atas kasur dengan selang bening yang meneteskan cairan ke dalam tubuhnya.

          “Jahat, kenapa nggak ngasih tau,” aku menyalaminya dengan perasaan teriris.
          “Udah ngasih tau kok. Demam,” sesepele itu jawabannya.
          “Dasaaar, harus ikut UKK! Nggak mau tahu!”

Aku susah payah tertawa, ia mengikuti. Tawa getir lebih tepatnya. Kami (aku dan teman-teman kelasnya) hanya sempat bertukar tawa, setelah berbasa-basi dengan kedua orangtuanya, kami pamit pulang, aku menyalaminya lagi, kali ini lebih erat, aku lihat matanya berkaca-kaca. Aku yakin sebabnya adalah kemungkinan yang pertama. Hmm, sedang memoles topeng sedemikian rupa? Aku paham. Tidak perlu dijelaskan.         

Teruntuk seseorang yang sudah kuanggap seperti kakakku sendiri, aku berusaha memohon pada Yang Maha Berkehendak agar kesabaran selalu mengiringimu dalam musibah ini. Jangan lupa memakan makanan yang disarankan dokter atau sekedar mengikuti nasihat ayah ibu. Bahkan ketika aku mengatakan ini sekali lagi, aku tidak bisa menahan mataku untuk tidak memerah. 

Maaf kalau terlalu melow dan dramatis, aku hanya ingin berbagi, mengurangi sedikit arang yang membuat kepala memanas, dengan menulis aku lebih lega, sama seperti ketika aku berdoa. Kalau kamu baca dan ketemu aku suatu hari, pura-pura nggak baca ya, plis! Cepet sembuh, kan mau UKK! Maaf kalau aku nggak bisa ngirim foto dari ketnggian sekian meter di atas permukaan laut, yang jelas aku sudah, sedang, dan selalu mengirim  doa kepada Allah untuk kesembuhanmu. Oiya, awas sampai nggak dateng GPBT! Haha!

Dari lubuk hati yang agak dalam,
maaf aku payah,
Chik.

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible

0 comments:

Posting Komentar

Drop your coment here! :)