Kebanyakan
orang menjejalkan telinga mereka dengan tembaga bulat berbuntut kabel yang
ditancapkan pada ponsel pintar atau alat elektronik khusus yang menyediakan
fitur pemutar suara, mendengarkan alunan musik katanya, telinganya dibuat tuli
terhadap sekitar.
Desahan
dahan yang dimainkan angin atau riak-riak air kolam itu adalah satu-satunya suara yang memecah keheningan, terlepas dari lalu lintas beberapa kilometer di depan sana. Tidak perlu berpura-pura punya kawan kalau
jelas-jelas sepi kawan terbaikmu.
Aku bisa melakukan apapun yang kusukai bersama sepi. Acap
kali bersiul mengikuti cicit Burung Gereja, atau hanya sekedar berbaring di rerumputan,
menikmati resonansi syahdu yang diciptakan sang Maestro Alam Semesta. Siapa peduli?
(err kecuali bapak-bapak pemilik tambak ikan di bawah yang tidak banyak bicara,
mungkin beliau sudah maklum).
Aku merebahkan
tubuh diatas permadani hijau yang agak
landai, sungai mengalir lambat di bawah kaki. Agak ketengah arus membelah
lembut pada petak-petak yang ditinggali beberapa jenis ikan. Lalu tiba-tiba ada
yang janggal. Angin tidak lagi menggelitik dari sudut bias matahari.
“Sudah
berapa lama kau disini?”
“Sampai
kau menyadari bahwa aku disini,”
Aku
bergeming, membiarkan jawabannya menggantung di langit. Tidak perlu membuka
mata atau menoleh untuk menerka jasad yang kini duduk beberapa depa dari
tempatku berbaring. Jenis suara serta aroma musk
yang begitu familiar bisa mengungkap perihal pemilik nama. Tujuh hari lenyap
tanpa menyisa kabar. Eh, siapa peduli? Toh aku juga lebih senang sendiri.
“Tidak
ingin bertanya kemana aku pergi,”
“Nope,”
aku sudah tahu jawabannya. Satu kali mencicip langit dari ketinggian ribuan
meter diatas laut membuatnya menjadi pecandu raksasa angkasa. Kulit sawo matang serta bibir pecah-pecah yang menghitam termasuk harga yang harus
dibayar untuk sebuah kesyahduan mengagumi karya-Nya dari atas sana.
“Kau
tidak suka aku disini?,” ia mengucapkannya dengan intonasi dibuat-buat, sok
sedih, tentu saja aku tahu. Kalau ia mengikuti casting sebuah drama, aku yakin ia ditolak mentah-mentah. Aktingnya
benar-benar buruk.
Tetapi
itu berhasil mencairkan sarkatisku. Aku tertawa. Sadar. Aku merindukannya.
“Kalau
kau terus-terusan begitu, tidak heran semua cewek menolakmu,”
Ia
tertawa, memberi jeda sedikit sampai akhirnya bicara lagi.
“Memangnya
aku pernah nembak cewek?”
Eh? Sebetulnya aku tidak membutuhkan jawabannya, hanya ingin mengolok. Kemudian aku ingat, kita sama-sama tak senang membahas privasi. Atau seyogyanya tidak pernah benar-benar tahu urusan pribadi masing-masing. Makdsudku, untuk hal-hal seperti ini tidak perlu menyediakan waktu khusus untuk membahasnya. Karena biasanya, tanpa bertanya, selalu ada penjelasan terkapital ekspresi.Ya, itulah yang kusuka darimu.
“Mana
kutahu,” aku hanya mengedikkan bahu. Sebetulnya tidak terlalu peduli dengan
pertanyaanku sebelumnya.
Ia tersenyum, sadar pertanyaanku retoris. Tiba-tiba ia mencari-cari sesuatu dalam tas slempangnya.
“Ini
buatmu,” ia mengulurkan sebuah bandana hitam polos dengan ornamen kupu-kupu ungu
cantik di tiga perempat ujungnya.
“Dari
mana kau mendapatkannya? Pasar kaget?,” tadinya aku pikir ia akan tertawa,
membalas ledekanku. Tapi ia bergeming.
“Anggap
saja oleh-oleh. Maaf tidak mengirimkan kertas atau foto dari ketinggian itu. Terlalu mainstream. Jangan minta edelweiss, aku tidak terlalu percaya ia abadi setelah dicungkil dari akarnya.
Bandana ini aku beli di perjalanan pulang. Selamat ulang tahun, Ka, maaf tidak
sempat dibungkus,”
Aku
tertegun, agak tersentuh dengan penuturannya, sampai tiba-tiba ia berkata,
“Lima
belas ribunya dituker sama semangkok bakso Pak Min aja ya,” ia buru-buru
bangkit sebelum kupukuli, berlari
mengambil sepeda dan mengayuhnya dengan santai. Menerbangkan beberapa anak rambutnya.
Jingga
sebentar lagi tenggelam, hangat akan segera menyingkir. Aku tersenyum,
diam-diam menyematkan bandana pada rambutku yang tergerai. Pernak-pernik khas perempuan petama
yang kupakai seumur hidup. Bisa diledek habis-habisan kalau adik dan masku
melihatnya. Ah, tapi malam ini gelap, semoga tidak ada yang menyadarinya.
Ya, semoga tidak ada yang menyadari frekuensi aneh yang merambat dalam dada.
"Buruan Giska!" Ia mengerem sepedanya sepuluh meter dari arahku berdiri, aku bergegas mengambil sepeda yang tergeletak tak berdaya di rerumputan. Berniat mengejarnya dan menjitaknya.
Hey,
ternyata ada yang lebih menyenangan dibanding bercengkrama dengan sunyi!
ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 comments:
Posting Komentar
Drop your coment here! :)