[Kata Disya] Dipeluk Ibumu tadi Sore
---
I don't want you to be
Something that you don't wanna be
cause you brings the world on yourself
The Heartbreaks Song – Garamerica
---
[Bagian Dua]
Malam menuju pukul dua pagi.
Tujuh belas, tujuh.
Sore tadi, aku hanya bermaksud mengantar kue kering hasil eksperimenku yang kesekian ke rumahmu. Aku memang tidak jago bikin makanan berat, tapi kalau soal kue dan kudapan, sepertinya aku tidak buruk-buruk amat. Makanya, aku ingin kamu cobain satu. Biar kamu tidak terus-terusan meledek ayam gorengku yang gosong tempo lalu.
Tentu saja, dari awal aku sudah menduga. Bahwa kedatanganku ke rumahmu tidak bisa hanya berlangsung semenit-dua menit saja. Ibumu pasti menyuruhku masuk lantas kami mengobrol untuk waktu yang tak dapat ditentukan. Em, mungkin lebih tepatnya, ibumu yang lebih banyak bercerita, sedang aku seringnya hanya duduk takzim; terkesima oleh penuturannya yang sarat akan makna.
Kamu sengaja menyibukkan diri di belakang. Harus menyiram Bugenville yang baru saja mekar katamu, lantas ngeloyor tanpa menyapaku lebih dulu.
Tinggalah aku berdua dengan Ibumu di ruang tamu beralaskan karpet tebal, duduk bersisian disekat satu meja persegi di tengah ruangan. Aku setengah grogi, padahal Ibumu adalah tipe wanita yang tidak pernah membosankan apalagi intimidatif untuk diajak bicara. Barangkali karena keterbukaan dan taburan humor di tiap diksinya. Jiwa mudanya selalu nyambung untuk mmbicarakan berbagai hal. Tentang skeptisme terhadap kebijakan pemerintah, harga cabai yang terus meroket, tanaman budidaya yang terserang penyakit, sampai soal cuaca yang tak kunjung menunjukkan gejala akan turunnya hujan. Dan di antara semuanya, pasti terselip pertanyaan esensial khas ibumu -yang membuatku gugup menantikannya.
---
“Jadi, habis kuliah Disya mau lanjut kemana?” tanya beliau masih dengan nada ringan dan senyum mengembang.
“Umm.. Disya belum merencanakan secara spesifik sih, Tante, tapi Disya ingin cari pengalaman dengan ikut berbagai kegiatan konservasi.” Kataku ragu-ragu sambil menatap teh hangat dengan uap mengepul di depanku.
"Sudah tante duga. Dari cara Disya merawat hewan dan ketertarikan dengan alam, tante sudah menduga, kalau nggak jadi peneliti, Disya fokus ke kegiatan konservasi." Alih-alih memberi pertanyaan intimidatif, komentar Ibumu justru sangat supportif. Aku masih tetap terdiam. Memikirkan banyak hal.
"Sudah tante duga. Dari cara Disya merawat hewan dan ketertarikan dengan alam, tante sudah menduga, kalau nggak jadi peneliti, Disya fokus ke kegiatan konservasi." Alih-alih memberi pertanyaan intimidatif, komentar Ibumu justru sangat supportif. Aku masih tetap terdiam. Memikirkan banyak hal.
“Eh tetapi Disya, biasanya kegiatan konservasi lokasinya di luar Jawa bukan? Apa Disya sudah siap? Siap fisik. Siap mental. Siap untuk sepenuhnya mandiri. Dan tentu saja, siap untuk jauh dari Jogja, jauh dari nenek dan kakek.” tanya beliau dengan nada lembut dan tatapan meneduhkan.
Aku tahu maksud beliau baik. Tentu saja. Bukannya beliau meragukanku dengan maksud menegasikan semua ucapannya padaku, tidak. Aku tahu betul pertanyaan ini dilontarkan atas dasar rasa sayang dan kepedulian beliau yang sudah lama kurasakan.
Bagaimana beliau tidak khawatir, meski tidak tinggal bersama orang tua, sejak kecil sudah terbiasa dilimpahi kasih sayang dari kakek dan nenek yang teramat banyak. Bagaimana jika nantinya dilepas begitu saja, ke alam liar pula?
Bagaimana beliau tidak khawatir, meski tidak tinggal bersama orang tua, sejak kecil sudah terbiasa dilimpahi kasih sayang dari kakek dan nenek yang teramat banyak. Bagaimana jika nantinya dilepas begitu saja, ke alam liar pula?
“Iya tante, Disya juga masih menimbang-nimbang, tapi Disya ingin sekali merantau, benar-benar mandiri.” Tanpa sadar, pandanganku menjadi buram, jernih kembali setelah setitik air menetes - yang kuhapus sedetik kemudian. Sungkan membuat Ibumu merasa tak enak.
“Tidak apa-apa Disya, tante mengerti. Keinginan Disya harus benar-benar dipertimbangkan. Menurut tante, masih banyak jalan untuk mandiri tanpa harus jauh dari Jogja. Nanti yang antar kue kering ke rumah siapa lagi kalau bukan kamu?” kata Ibumu sambil memelukku. Membiarkan air mataku menetes satu-satu di jilbab putihnya yang harum.
---
Malam ini aku sulit terlelap. Begitu banyaknya rasa peduli yang orang-orang taruh padaku. Termasuk kamu dan Ibumu, yang sudah kuanggap seperti Ibuku sendiri.
Tetapi tetap saja, zona nyaman ini harus segera daiakhiri. Entah bagiamana caranya. Aku terlalu menerima banyak cinta. Tidak bisa. Aku harus menciptakan ceritaku sendiri meski dikomposisi dengan duka, luka, perih, maupun bahagia. Aku ingin jadi tangguh. Tidak lagi menjadi gadis ringkih yang mudah menangis atas hal-hal di luar kendali dirinya.
Aku mematikan lampu kamar. Beranjak menuju tempat tidur. Mataku sulit terpejam. Kilas balik memori berkelebat dengan cepat. Ya, aku harus segera memutuskan.
Seperti kamu yang selalu punya daftar angan yang harus dicentang satu persatu,
Aku juga harus menciptakannya satu, bukan?
Tentu saja dengan versiku.
--
Terima kasih, telah berperan membuat Disya
menjadi Disya yang sekarang
--.
Tenang saja, kalau aku pergi nanti,
rumahmu selalu jadi tujuanku untuk kembali;
mengantar kue kering, tentu saja. Apalagi?
Hahaha.
--.
Tenang saja, kalau aku pergi nanti,
rumahmu selalu jadi tujuanku untuk kembali;
mengantar kue kering, tentu saja. Apalagi?
Hahaha.
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 comments:
Posting Komentar
Drop your coment here! :)